Kamis, 28 Mei 2009

UNAS & STANDARISASI NILAI KELULUSAN

UNAS & STANDARISASI NILAI KELULUSAN
Oleh : Iin Yuristin N
Guru SMA Negeri Patianrowo Nganjuk

Latar belakang mengapa Ujian Nasional digelar setiap tahun digelar adalah untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat keberhasilan hasil belajar peserta didik, disetiap jenjang satuan pendidikan. Dalam pandangan pemerintah pada dasarnya Ujian Nasional adalah mutlak diperlukan untuk kenaikan tingkat pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi disamping sebagai evaluasi belajar siswa selama menjalani kegiatan belajar disekolah. Apakah nantinya terjadi pergeseran nilai mendasar dari tujuan utama diselenggarakannya ujian nasional didalam niat masing-masing siswa, hal itu adalah permasalahan lain lagi tetapi yang jelas ujian nasioanal haruslah tetap diadakan. Walaupun ujian nasional tidak bisa serta merta dijadikan tolak ukur sepenuhnya bagi kemajuan prestasi siswa, namun ujian nasional sedikit banyak bisa meningkatkan semangat belajar siswa. Dari ujian nasional inilah juga bisa dilihat motivasi sesungguhnya siswa menjalani kegiatan belajar di lingkungan sekolah selama ini.
Menurut hemat penulis Ujian Nasional (UN) bertentangan dengan KTSP dimana KTSP berorientasi kepada sekolah sedangkan (UN) ujian nasional bersifat sentralistik. KTSP memiliki standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akibatnya, materi pokok dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Namun, butir soal UN mencakup kedalaman materi yang sama, sangat tidak mungkin bila soal UN yang diberikan sama untuk setiap propinsi. Dan tak pantas rasanya, bila taraf perkembangan yang dinilai hanyalah kognitif padahal menurut Howard Gardner, setiap manusia memiliki kecerdasan yang berbeda—tidak hanya kecerdasan matematika saja.
Oleh sebab itu, perlu mereformasi pelbagai kebijakan UN agar sejalan dengan KTSP. Setelah sekolah telah memberlakukan KTSP, sekolah berhak untuk menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah telah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan salah satu caranya dengan ujian sekolah. UN sebaiknya berfungsi untuk sertifikasi dan melanjutkan ke jenjang berikutnya. UN yang sifatnya terbuka, tidak diwajibkan bagi semua siswa.
Ketika ada seorang siswa yang mendapatkan nilai kurang, tidak bisa langsung menilainya sebagai tanda kebodohan atau kemalasan pada diri siswa tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain minat utama siswa dan juga bakat siswa yang sesungguhnya. Hal ini tidak bisa dipaksakan begitu saja dengan hanya mengkriteriakan dirinya sebagai siswa yang bodoh atau pemalas, sekali lagi ujian nasional tetaplah hanya dijadikan sebagai langkah awal kedepan.
UN telah melanggar aspek pedagogis karena hanya mengembangkan aspek kognitif saja tanpa memerhatikan psikomotorik dan afektif, selain itu aspek psikologis siswa karena tiap tahun standar kelulusan meningkat, membuat siswa hanya menghapal soal-soal yang kemungkinan keluar baik di sekolah maupun rumah, disamping itu UN membuat peran guru tidak ada untuk evaluasi hasil belajar untuk memantau proses selama 3 tahun belajar dan anggaran yang dikeluarkan APBN untuk penyelenggaraan UN karena belum diberitakan jelas alurnya sehingga kemungkinan korupsi masih terbuka lebarBelum lagi dana yang tidak tertuga yang harus dikeluarkan siswa. Siswa mungkin dibebaskan dari biaya untuk mengikuti UN, tapi karena distribusi dana ujian belum jelas, sehingga sekolah bisa saja membebankan biaya ujian kepada siswa.
Kesemua kesemrawutan ini tidak dapat dipisah dengan mutu pendidikan, terutama tenaga pengajar. IKIP sebagai pabrik guru masih dianggap bottom ten dari lulusan SMU. Harus ada kebijakan untuk menaikkan pamor guru di mata masyrakat. Keprofesionalan jelas dituntut: penguasaan materi, pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan agar guru tahu situasi siswa yang diajar sehingga pencapaian standa kompetensi dapat dicapai. Dan pendidikan harus membebaskan, pendidikan harus dilonggarkan dari tekanan birokrasi negara. UN begitu menghamburkan banyak anggaran pemerintah agar soal-soal bisa sampai di setiap pelosok propinsi, belum lagi biaya pemeriksaan dan upah pengawas.
Ditambah pula tugas guru untuk mendidik seharusnya tidak perlu dipenuhi dengan pikiran rumah tangga lantaran dapur tidak berasap. Pemerintah lebih baik memfokuskan kualitas guru karena UN belum siap diterapkan saat ini. Penekanan terhadap standar kelulusan membuat guru ketar-ketir memikirkan anak didiknya untuk lulus, wajar saja jika terdapat kasus kecurangan UN setiap tahun dengan alasan iba dan upaya meningkatkan akreditasi sekolah.
Dampak UN memang telah memberikan ketegangan karena memo menakutkan dari oknum-oknum institusi. Sesungguhnya, apalah yang dikejar dari nilai kelulusan 100 persen? Dengan jalan kecurangan Gengsi dan pamor sekolah, dinas pendidikan, bupati/walikota atau gubernur? Untuk sekolah swasta pastinya sangat khawatir bila banyak peserta didiknya yang tidak lulus. Pada gilirannya, pada tahun mendatang, jumlah pendaftar pada sekolah tersebut pasti menurun atau bahkan tidak laku.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh oknum-oknum dibalik sukses UN tak terpuji mentalnyapun kerdil, mudah putus asa, tidak percaya pada diri sendiri.
Jadi pokok permasalahan UN bukan pada pelaksanaannya, bukan pula pada persiapan menjelang UN, yang paling penting adalah menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal. Sekolah mestilah konsisten, konkret, dan terus mendampingi siswa secara intensif sejak memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.
Sebagai pendidik yang bertanggung jawab akan nasib bangsa ini di masa depan, kita mulai dari sekarang sebaiknya komitmen untuk tidak mempromosikan tips dan trik mencontek, bemanipulatif, apalagi sebagai dalang dibalik semua skenario yang mencoreng semua stakeholder.
Dan memang keadaan dunia tidak selalu sesuai dengan apa yan diharapkan. Setiap tahun jutaan pelajar di Indonesia menyelesaikan studinya, sedangkan jalan kedepan tidak selalu mulus. Jutaan pelajar terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Akhirnya mereka turun ke dunia kerja lebih dini dari yang diharapkan walaupun belum benar-benar matang. Dan rupanya mencari pekerjaanpun tidaklah semudah yang di pikirkan, persaingan dengan pelamar kerja yang jumlahnya tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia membuat masalah menjadi semakin runyam.
Terlepas dari efektif tidaknya UN sebagai faktor penentu kelulusan siswa, kita patut menjunjung tinggi sportivitas. Setiap orang boleh setuju boleh tidak terhadap kebijakan dilaksanakannya UN, memang disatu sisi UN tampak sangat kontradiktif dengan jiwa atau roh KTSP bahwa kualitas sekolah hanya ditentukan oleh hasil UN, namun bagaimanapun banyak hal yang bisa dipelajari dari UN antara lain semangat meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar