Kamis, 28 Mei 2009

UNAS & STANDARISASI NILAI KELULUSAN

UNAS & STANDARISASI NILAI KELULUSAN
Oleh : Iin Yuristin N
Guru SMA Negeri Patianrowo Nganjuk

Latar belakang mengapa Ujian Nasional digelar setiap tahun digelar adalah untuk mengevaluasi dan mengukur tingkat keberhasilan hasil belajar peserta didik, disetiap jenjang satuan pendidikan. Dalam pandangan pemerintah pada dasarnya Ujian Nasional adalah mutlak diperlukan untuk kenaikan tingkat pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi disamping sebagai evaluasi belajar siswa selama menjalani kegiatan belajar disekolah. Apakah nantinya terjadi pergeseran nilai mendasar dari tujuan utama diselenggarakannya ujian nasional didalam niat masing-masing siswa, hal itu adalah permasalahan lain lagi tetapi yang jelas ujian nasioanal haruslah tetap diadakan. Walaupun ujian nasional tidak bisa serta merta dijadikan tolak ukur sepenuhnya bagi kemajuan prestasi siswa, namun ujian nasional sedikit banyak bisa meningkatkan semangat belajar siswa. Dari ujian nasional inilah juga bisa dilihat motivasi sesungguhnya siswa menjalani kegiatan belajar di lingkungan sekolah selama ini.
Menurut hemat penulis Ujian Nasional (UN) bertentangan dengan KTSP dimana KTSP berorientasi kepada sekolah sedangkan (UN) ujian nasional bersifat sentralistik. KTSP memiliki standar kompetensi dan kompetensi dasar. Akibatnya, materi pokok dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Namun, butir soal UN mencakup kedalaman materi yang sama, sangat tidak mungkin bila soal UN yang diberikan sama untuk setiap propinsi. Dan tak pantas rasanya, bila taraf perkembangan yang dinilai hanyalah kognitif padahal menurut Howard Gardner, setiap manusia memiliki kecerdasan yang berbeda—tidak hanya kecerdasan matematika saja.
Oleh sebab itu, perlu mereformasi pelbagai kebijakan UN agar sejalan dengan KTSP. Setelah sekolah telah memberlakukan KTSP, sekolah berhak untuk menilai keberhasilan pelaksanaannya; apakah telah sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar, dan salah satu caranya dengan ujian sekolah. UN sebaiknya berfungsi untuk sertifikasi dan melanjutkan ke jenjang berikutnya. UN yang sifatnya terbuka, tidak diwajibkan bagi semua siswa.
Ketika ada seorang siswa yang mendapatkan nilai kurang, tidak bisa langsung menilainya sebagai tanda kebodohan atau kemalasan pada diri siswa tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi hal ini antara lain minat utama siswa dan juga bakat siswa yang sesungguhnya. Hal ini tidak bisa dipaksakan begitu saja dengan hanya mengkriteriakan dirinya sebagai siswa yang bodoh atau pemalas, sekali lagi ujian nasional tetaplah hanya dijadikan sebagai langkah awal kedepan.
UN telah melanggar aspek pedagogis karena hanya mengembangkan aspek kognitif saja tanpa memerhatikan psikomotorik dan afektif, selain itu aspek psikologis siswa karena tiap tahun standar kelulusan meningkat, membuat siswa hanya menghapal soal-soal yang kemungkinan keluar baik di sekolah maupun rumah, disamping itu UN membuat peran guru tidak ada untuk evaluasi hasil belajar untuk memantau proses selama 3 tahun belajar dan anggaran yang dikeluarkan APBN untuk penyelenggaraan UN karena belum diberitakan jelas alurnya sehingga kemungkinan korupsi masih terbuka lebarBelum lagi dana yang tidak tertuga yang harus dikeluarkan siswa. Siswa mungkin dibebaskan dari biaya untuk mengikuti UN, tapi karena distribusi dana ujian belum jelas, sehingga sekolah bisa saja membebankan biaya ujian kepada siswa.
Kesemua kesemrawutan ini tidak dapat dipisah dengan mutu pendidikan, terutama tenaga pengajar. IKIP sebagai pabrik guru masih dianggap bottom ten dari lulusan SMU. Harus ada kebijakan untuk menaikkan pamor guru di mata masyrakat. Keprofesionalan jelas dituntut: penguasaan materi, pedagogik, didaktik dan metodologi pendidikan agar guru tahu situasi siswa yang diajar sehingga pencapaian standa kompetensi dapat dicapai. Dan pendidikan harus membebaskan, pendidikan harus dilonggarkan dari tekanan birokrasi negara. UN begitu menghamburkan banyak anggaran pemerintah agar soal-soal bisa sampai di setiap pelosok propinsi, belum lagi biaya pemeriksaan dan upah pengawas.
Ditambah pula tugas guru untuk mendidik seharusnya tidak perlu dipenuhi dengan pikiran rumah tangga lantaran dapur tidak berasap. Pemerintah lebih baik memfokuskan kualitas guru karena UN belum siap diterapkan saat ini. Penekanan terhadap standar kelulusan membuat guru ketar-ketir memikirkan anak didiknya untuk lulus, wajar saja jika terdapat kasus kecurangan UN setiap tahun dengan alasan iba dan upaya meningkatkan akreditasi sekolah.
Dampak UN memang telah memberikan ketegangan karena memo menakutkan dari oknum-oknum institusi. Sesungguhnya, apalah yang dikejar dari nilai kelulusan 100 persen? Dengan jalan kecurangan Gengsi dan pamor sekolah, dinas pendidikan, bupati/walikota atau gubernur? Untuk sekolah swasta pastinya sangat khawatir bila banyak peserta didiknya yang tidak lulus. Pada gilirannya, pada tahun mendatang, jumlah pendaftar pada sekolah tersebut pasti menurun atau bahkan tidak laku.
Sebenarnya apa yang dilakukan oleh oknum-oknum dibalik sukses UN tak terpuji mentalnyapun kerdil, mudah putus asa, tidak percaya pada diri sendiri.
Jadi pokok permasalahan UN bukan pada pelaksanaannya, bukan pula pada persiapan menjelang UN, yang paling penting adalah menumbuhkan kesungguhan, daya tahan, dan motivasi internal. Sekolah mestilah konsisten, konkret, dan terus mendampingi siswa secara intensif sejak memasuki tahun ajaran baru sampai menghadapi UN.
Sebagai pendidik yang bertanggung jawab akan nasib bangsa ini di masa depan, kita mulai dari sekarang sebaiknya komitmen untuk tidak mempromosikan tips dan trik mencontek, bemanipulatif, apalagi sebagai dalang dibalik semua skenario yang mencoreng semua stakeholder.
Dan memang keadaan dunia tidak selalu sesuai dengan apa yan diharapkan. Setiap tahun jutaan pelajar di Indonesia menyelesaikan studinya, sedangkan jalan kedepan tidak selalu mulus. Jutaan pelajar terpaksa tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Akhirnya mereka turun ke dunia kerja lebih dini dari yang diharapkan walaupun belum benar-benar matang. Dan rupanya mencari pekerjaanpun tidaklah semudah yang di pikirkan, persaingan dengan pelamar kerja yang jumlahnya tidak seimbang dengan lapangan kerja yang tersedia membuat masalah menjadi semakin runyam.
Terlepas dari efektif tidaknya UN sebagai faktor penentu kelulusan siswa, kita patut menjunjung tinggi sportivitas. Setiap orang boleh setuju boleh tidak terhadap kebijakan dilaksanakannya UN, memang disatu sisi UN tampak sangat kontradiktif dengan jiwa atau roh KTSP bahwa kualitas sekolah hanya ditentukan oleh hasil UN, namun bagaimanapun banyak hal yang bisa dipelajari dari UN antara lain semangat meningkatkan kualitas pendidikan di tanah air. Semoga.

UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI

UPAYA PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN MELALUI
PENINGKATAN PROFESIONALISME PENDIDIKAN
Oleh : Iin Yuristin N,S.Pd.,M.M.Pd
Guru SMA Negeri I Patianrowo Nganjuk
Tulisan ini dilatarbelakangi konteks pembangunan SDM dalam menjalankan pendidikan sesuai era globalisasi. Diyakini bahwa kualitas pendidikan yang rendah sebagai efek dari kesalahan dalam penyelenggaran pendidikan. Hal ini dapat disebabkan Visi dan misi yang tidak jelas untuk masa depan dan masih berkisar kuantitas tanpa kualitas. Ditambah lagi anggapan bahwa profesi pendidik masih dianggap bukan profesi menjadikan perhatian terhadap pendidikan semakin berkurang. Untuk itu tidak dapat dibantah perlunya profesionalisme pendidikan, khususnya pendidik yang profesional untuk perbaikan pendidikan. Makalah ini difokuskan pada upaya perbaikan pendidikan lewat peningkatan profesionaisme pendidikan, pentingnya profesionalisme pendidikan, realitas di lapangan serta hambatan untuk mencapainya.
Sesuai dengan permasalahan yang ingin dipecahkan, pembahasan makalah ini meliputi :
1. Pengertian Profesi, Kriteria dan Profesi Pendidik
Berdasarkan beberapa pendapat tentang profesi, dalam makalah ini disimpulkan bahwa : Profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang diinginkan atau dicita-citakan secara khusus, bertumpu pada landasan intelektual yang dalam mencapainya memerlukan pendidikan dan latihan khusus, memerlukan tolak ukur, persyaratan khusus dan kode etik oleh suatu badan serta dapat diterapkan pada masyarakat untuk memecahkan suatu masalah.
Made Pidarta (1997 : 264) memberikan tinjauan terhadap 2 arti pendidik, yaitu Pendidik dalam arti luas adalah semua orang yang berkewajiban membina anak-anak dan pendidik dalam arti sempit adalah orang-orang yang disiapkan dengan sengaja untuk menjadi guru dan dosen. Kedua jenis ini dibedakan atas pendidikan dan waktu khusus untuk mencapai predikat pendidik.
Made Pidarta (1997 : 265) menyatakan bahwa tidak diakuinya keprofesionalan para guru dan dosen, didasarkan atas kenyataan yang dilihat masyarakat bahwa (1) banyak sekali guru maupun dosen yang tidak memberi keputusan kepada mereka, dan (2) menurut pendapat masyarakat, pekerjaan mendidik dapat dilakukan oleh siapa saja.
Proses mendidik tidak dapat dicirikan hanya dengan adanya nasehat, dorongan berbuat baik, larangan dan penilaian terhadap perilaku anak. Mendidik merupakan pembuatan kesempatan dan situasi yang kondusif bagi perkembangan anak baik bakat, pribadi serta potensi-potensi lainnya. Berdasarkan pernyataan ini, mendidik haruslah dilakukan oleh orang-orang yang profesional.
Made Pidarta (1997 : 269-271) menyatakan bahwa diperlukan hal-hal berikut untuk memenuhi persyaratan profesi pendidik, yaitu : Pertama, perlunya diperkenalkan penjelasan pengertian pendidikan bagi calon pendidik memberikan kesempatan berpikir untuk memahami profesi mendidik tersebut. Kedua, perlu dikembangkan kepada calon pendidik kriteria keberhasilan mendidik, keberhasilan ini bukan atas prestasi akademik pendidik namun lebih dicerminkan oleh keberhasilan mendidik dengan kriteria-kriteria tertentu seperti Memiliki sikap suka belajar, tahu tentang cara belajar dan lainnya. Ketiga, memperkenalkan perilaku di lapangan yang dapat dipilih beberapa di antaranya yang sesuai dengan tujuan pendidikan setiap kali tatap muka.
2. Profesionalisme Pendidikan dan Kode Etik Guru
Profesionalisme muncul atas dasar perkembangan masyarakat modern yang semakin kompleks yang menyebabkan proses pengambilan keputusan bertambah sulit, memerlukan informasi yang lengkap, didasari atas penguasaan terhadap pengetahuan serta permasalahannya dan jaminan atas penyalahgunaan kekuasaan yang mungkin terjadi.
Rustiyah N. K. (1989 : 174) menyatakan bahwa ada 3 alasan profesionalisme di bidang pendidikan mendapat pengakuan, yaitu :
a) Lapangan kerja keguruan dan kependidikan bukan merupakan suatu lapangan kerja rutin yang dapat dilakukan karena pengulangan dan pembiasaan.
b) Lapangan kerja ini memerlukan dukungan ilmu atau teori yang akan memberi konsepsi teoritis ilmu kependidikan dengan cabang-cabangnya.
c) Lapangan kerja ini memerlukan waktu pendidikan dan latihan yang lama, berupa pendidikan dasar untuk taraf sarjana ditambah dengan pendidikan profesional.
Selanjutnya Rustiyah N. K. (1989 : 174) menyatakan bahwa pendidik profesional adalah seseorang yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap profesional, yang mampu dan setia mengembangkan profesinya, ikut serta dalam mengkomunikasikan usaha pengembangan profesi dan bekerja sama dengan profesi yang lain.
Dalam makalah ini disinggung juga masalah kode etik yang menyangkut kepentingan pendidikan, diantaranya mengaitkan hubungan : (1) guru dengan murid, (2) guru dengan pemerintah (3) guru dengan orang tua murid (4) guru dengan teman sejawat, (5) guru dengan diri sendiri dan (6) dengan lingkungannya serta (7) guru dengan profesinya
4. Realita Profesionalisme Pendidikan di Indonesia
Dalam makalah ini disinggung kenyataan di lapangan tentang profesionalisme pendidikan di Indonesia yang belum tercapai sebagaimana diinginkan, misalnya para pendidik sendiri, birokrasi yang sulit, anggaran pendidikan dan gaji guru yang minim dan lainnya. Selain itu ketentuan hukum untuk masalah pendidikan juga masih dinilai belum jelas.
Sebagian besar kebijaksanaan pendidikan di Indonesia masih berupa penerapan pendekatan social demand (permintaan masyarakat) yang pada orde baru dapat dilihat dengan terpenuhinya kebutuhan jumlah SD di Indonesia dan program Wajar 6 tahun. Dalam rekrutmen tenaga pendidik juga masih terlihat belum optimalnya, misalnya persyaratan dan ujian yang diberikan. Selain itu latar belakang pendidikan para guru tidak semuanya memenuhi kriteria tenaga pendidik, misalnya memiliki Akta IV.
5. Hambatan Dalam Mewujudkan Profesionalisme Pendidikan
Dengan diberikannya otonomi dalam peningkatan mutu pendidikan, ada beberapa masalah yang dihadapi, misalnya : kesan KKN semakin jelas dan transparan. Pelatihan dan loka karya sering disalahartikan dan disalahgunakan sebagai ajang rekreasi dan menambah penghasilan bagi utusan. Fenomena ini merupakan hal yang lumrah di masa orde baru dan sampai sekarang masih sulit ditinggalkan. Belum lagi dana untuk anggaran pendidikan berupa peralatan laboratorium, perlengkapan sekolah, serta kesejahteraan guru yang tetap mengalami kebocoran di dalam perjalanannya. Dilihat dari individu pendidik, kemampuan sebagai pengembang instruksional sampai pada tahap evaluasi masih dapat dikatakan rendah. Yang tak kalah beratnya adalah sistem yang ada selalu bertentangan, sehingga penerapan kebijaksanaan baru dijadikan ajang KKN bagi sebagian orang.
6. Langkah Menuju Profesionalisme Pendidikan
Untuk menuju profesionalisme pendidikan H. A. R. Tilaar (1999 : 17), menyatakan bahwa ada 3 ciri utama yang dapat dicermati dalam pendidikan nasional sekarang ini, yaitu : (1) sistem yang kaku dan sentralistik, (2) praktek KKN serta koncoisme dan (3) sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan rakyat. Untuk itu perlu reformasi yang dibaginya menjadi tiga bagian, yaitu :
a) Reformasi Jangka Pendek, pada tahap ini upaya yang dilakukan adalah pengikisan praktek tercela KKN dan koncoisme di dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional. Usaha tersebut bergandengan dengan usaha untuk menegakkan asas profesionalisme di dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
b) Reformasi Jangka Menengah, salah satu prioritasnya adalah penataan sistem yang yang didasrkan pada prisnsip desentralisasi sehingga betul-betul memberdayakan masyarakat banyak yang mana isi kurikulum lebih menekankan kepada pemberdayaan rakyat di pedesaan dan rakyat kecil.
c) Reformasi Jangka Panjang, di sini perlu pemantapan sistem pendidikan nasional yang kokoh, terbuka, bermutu, sehingga dapat bersaing dengan bangsa-bangsa di kawasan regional maupun internasional.
Profesionalisme pendidikan dapat juga diwujudkan dengan mengaplikasikan berbagai konsep di bidang lain dalam pendidikan. Misalnya : pendekatan sistem, kebutuhan tenaga kerja, permintaan masyarakat dan pendekatan lainnya yang merupakan konsep-konsep di bidang ekonomi. Reformasi pemberdayaan guru dan tenaga kependidikan diarahkan pada kinerja sistem pendataan kebutuhan, pendidikan, rekrutmen, penempatan, dan pemerataan penyebarannya, serta pembinaan karir dan perbaikan sistem imbalan serta kesejahteraannya sebagai tenaga profesional, yang pengelolannya secara terdesentralisasi. Berkaitan dengan perbaikan moral, maka peranan pendidikan agama tidak dapat ditinggalkan.
Simpulan
Profesi pendidik merupakan suatu bidang yang memerlukan profesionalisme dalam menjalankannya. Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pendidikan diperlukan para pendidik yang profesional yang ditopang dengan pengelola kependidikan yang profesional pula dan perlu kebersamaan dalam menjalankannya. Hambatan dalam mewujudkan profesionalisme ini berupa masih berjalannya sistem orde baru yang tidak kondusif, penuh KKN dan moral yang rendah dari sebagian tenaga pendidik. Pencapaian profesionalisme pendidikan memerlukan tahapan-tahapan, perlu aplikasi bidang lain yang bersesuaian untuk kemajuan pendidikan dan pembinaan moral yang melibatkan pendidikan agama.

PEMBELAJARAN KONSEP SISTEM KOORDINASI DENGAN

PEMBELAJARAN KONSEP SISTEM KOORDINASI DENGAN
MEMANFAATKAN PORTOFOLIO SISWA
Iin Yuristin N
(Guru Fisika di SMA Negeri I Patianrowo Nganjuk)
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang hasil belajar siswa, refleksi pengalaman belajar, kendala-kendala dalam pelaksanaan pembelajaran, tanggapan dari siswa, guru dan orang tua siswa pada pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio siswa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini "Quasi Experimental Design" yang melibatkan 78 orang siswa SMAN 1 kelas XI jurusan IPA di Patianrowo Nganjuk. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio dapat meningkatkan hasil belajar (rata-rata post test kelas eksperimen 77, kelas kontrol 69,23; rata-rata gain kelas eksperimen 0,68, kelas kontrol 0,58). Data ketuntasan belajar kelas eksperimen yaitu 100% tuntas dan kelas kontrol 82% tuntas. Refleksi pengalaman belajar yang dilakukan setelah proses pembelajaran ternyata dapat menjadi umpan balik bagi siswa dalam memperbaiki karya mereka. Pada pelaksanaan pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio mendapat tanggapan positif dari siswa, guru dan orang tua siswa
Kata Kunci: Pembelajaran, Portofolio, Konsep Sistem Koordinasi
A. PENDAHULUAN
Pada hakekatnya, mengajar itu adalah suatu proses dimana guru dan siswa menciptakan lingkungan yang baik, agar terjadi kegiatan belajar mengajar yang berdaya guna. Setiap proses pembelajaran memerlukan suatu metode yang sesuai dengan tujuan pengajaran itu sendiri. Tujuan pembelajaran IPA adalah mengembangkan keterampilan proses untuk memperoleh konsep-konsep IPA dan menumbuhkan nilai dan sikap ilmiah (Rustaman, 1997: 6). Untuk mencapai tujuan tersebut perlu serangkaian kegiatan penilaian yang mengembangkan potensi siswa dalam kemampuan akademis (pengetahuan, keterampilan, wawasan) maupun dalam hal afektif (sikap, nilai dan kesadaran) dan psikomotor baik selama proses belajar maupun pada hasil belajar siswa.
Sebagai suatu inovasi pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio dilandasi oleh beberapa pandangan antara lain pemikiran sebagai berikut: (1) empat pilar pendidikan yaitu learning to do, learning to know. learning tobe and learning to live together; (2) pandangan konstruktivisme; dan 3) democrating teaching. Hal serupa juga dikemukakan oleh Elango (2005) portofolio tidak hanya digunakan untuk bukti dokumentasi tetapi juga dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk pembelajaran. Portofolio yang dimanfaatkan dalam pembelajaran sangat akrab dengan prinsip belajar dari pengalaman. Berdasarkan tinjauan di atas diharapkan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio memberikan banyak pengalaman belajar. Menurut Rustaman (2003) faktor yang harus diperhatikan dalam memilih pengalaman belajar adalah kesiapan siswa.
Adapun konsep yang dipilih dalam pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio yaitu Sistem Koordinasi. Sistem saraf merupakan salah satu materi pelajaran Fisika yang cukup abstrak, dan sulit dipahami siswa (Wijayanti, 2001: 5; Kurniati, 2001: 7). Menurut lbayati (2002: 20), penyajian sistem saraf menuntut kemampuan guru mengorganisasi isi pelajaran sebagai persiapan untuk membangun pengetahuan siswa.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapat gambaran tentang:
1. Pelaksanaan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio pada konsep sistem koordinasi
2. Hasil belajar siswa setelah guru melaksanakan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio.
3. Peningkatan hasil belajar siswa setelah pembelajaran sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
4. Refleksi pengalaman belajar yang dilakukan siswa setelah pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
5. Kendala yang ditemui siswa, guru, dan orang tua di lapangan dalam pelaksanaan pembelajaran konsep koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
6. Tanggapan dari siswa, orangtua dan guru terhadap pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.

Manfaat Penelitan:
1. Memberikan pengalaman dan masukan tentang pembelajaran sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio.
2. Bagi guru, dapat meningkatkan keterampilan, mengembangkan pendekatan, metode atau model dalam proses pembelajaran, dan keterampilan dalam penggunaan media pembelajaran khususnya pada pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio.
3. Memberikan pengalaman pembelajaran kepada siswa dalam meningkatkan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik

B. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang melaksanakan pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan pemanfaatan portofolio dan kelompok kontrol yang melakukan pembelajaran konsep sistem koordinasi tanpa pemanfaatan portofolio. Pada masing-masing kelompok tersebut dilakukan pretes dan postes untuk mengetahui hasil belajar pada aspek kognitif pada kedua kelompok perlakuan. Pretes dilakukan sebelum pembelajaran dimulai, postes dilakukan setelah PBM konsep sistem koordinasi.
Penelitian ini berbentuk "Quasi Eexperimental Design" (Fraenkel &Wallen ,1993: 248). Desain pelaksanaannya digambarkan sebagai berikut :
Tabel 1: Desain Penelitian
Kelompok eksperimen 01 X 01
Kelompok Kontrol 01 - 01

Keterangan
01 : pemberian tes awal (Pretest), pemberian tes akhir (Postest)
X : perlakuan dengan pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio
Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas Xi IPA 1 dan Xi iPA 2 SMAN 1 di Kabupatan Nganjuk sebanyak 78 orang. Sampel diambil dengan mengundi untuk memilih satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa instrumen yang dirancang untuk mengumpulkan data. Adapun teknik dan alat pengumpulan data antara lain: (1) tes hasil belajar, (2) format penilaian portofolio, (3) format observasi, (4) format refleksi pengalaman belajar, (4) pedoman wawancara (untuk siswa dan orang tua siswa), dan (5) angket (untuk siswa dan orang tua siswa)
C. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian tentang hasil belajar siswa dan peningkatan hasil belajar pada konsep sistem koordinasi dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3, sedangkan nilai tugas siswa dapat dilihat pada gambar 1.
Tabel 2. Deskripsi hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
Kelompok Pretes Postes
)7 S xmin Xmaks X S Xmin Xmaks
Eksperimen 27,25 7,67 11 43 77 7,19 60 91
Kontrol 27,20 7,21 11 43 69,23 7,34 51 86

Tabel 3. Deskripsi gain ternormalisasi hasil belajar siswa pada konser sistem koordinasi
Aspek Kelompok Eksperimen Kelompok Kontrol
Xmin Xmaks X S Xmin Xmaks X S
Hasil belajar siswa
pada konsep
sistem koordinasi 0,42 0,88 0,68 0,10 0,45 0,80 0,58 0,09

Dari pengujian rerata tes akhir nampak pada kelas eksperimen yang menggunakan pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio siswa dengan kelas kontrol yang tidak menerapkan pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan memanfaatkan portofolio siswa memiliki perbedaan yang signifikan pada a = 0,05. Rerata kelas eksperimen lebih baik dari kelas kontrol. Peningkatan secara langsung dapat dilihat dari nilai gain ternormalisasi kelas eksperimen 0,68 sedang kelas kontrol 0,58, bila dikategorikan peningkatan tersebut termasuk kategori sedang. Dari pengujian rerata tes akhir dan gain ternormalisasi kelas eksperimen dan kelas kontrol terdapat perbedaan yang signifikan pada daerah penerimaan Ho a = 0,05.

Gambar 1. Diagram batang nilai rata-rata tugas siswa kelas eksperimen
Dari rerata kelas nilai tugas 1, tugas 2, tugas 3, dan tugas 4 ternyata mengalami peningkatan hingga mencapai rerata 91. Hal ini menunjukkan siswa memiliki motivasi yang tinggi dalam pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa. Motivasi yang tinggi didukung dari hasil angket yang menunjukkan sebagian besar siswa menyukai pembelajaran dengan pemanfaatan portofolio siswa. Selain itu juga panduan refleksi pengalaman belajar yang dilakukan siswa setelah menyelesaikan tugas juga mendorong motivasi siswa untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan pada tugas yang telah mereka kerjakan.
Data ketuntasan belajar kelas eksperimen diperoleh dari nilai postes dan nilai portofolio. Nilai postes diberikan bobot 75% sedangkan rata-rata nilai portofolio diberikan bobot 25%. Penilaian kelas eksperimen menggunakan kriteria tertentu (Sudjana, 2005: 3). Ketuntasan belajar kelas eksperimen yaitu 100% tuntas, sedangkan kelas kontrol yaitu 82%. Jika merunut pada standar ketuntasan belajar dari Depdiknas (2004), pemahaman konsep sistem koordinasi pada kedua kelas eksperimen telah melebihi standar minimal ketuntasan secara klasikal yaitu 85%, sedangkan kelas kontrol masih belum mencapai standar ketuntasan tersebut.
Refleksi pengalaman belajar ini sesungguhnya adalah umpan balik bagi siswa yang bertujuan untuk untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan siswa dalam pembelajaran. Pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio mempunyai kelebihan karena dari dokumentasi portofolio maka siswa dapat mengetahui kemajuan belajar mereka sendiri. Dokumentasi portofolio disertai catatan kekurangan terhadap tugas-tugas siswa sangatlah membantu siswa merefleksikan apa yang telah mereka pelajari. Cartono dan Sutarto (2006: 93) menyatakan bahwa siswa dapat merefleksikan tentang proses berpikir mereka sendiri. Dari isian format refleksi pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa setelah pembelajaran diperoleh pendapat siswa mengenai persiapan siswa dalam pembelajaran, pengaruh pemberian tugas, kekurangan dan kelebihan tugas siswa, kesungguhan siswa dalam belajar, penambahan wawasan siswa, dan upaya siswa setelah pembelajaran.
Berdasarkan hasil angket diperoleh data tanggapan siswa terhadap mata pelajaran Fisika dan konsep sistem koordinasi, tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio, dan tanggapan siswa terhadap proses penyusunan portofolio. Rekapitulasi tanggapan siswa terhadap mata pelajaran Fisika dan konsep sistem koordinasi, tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio dan tanggapan siswa terhadap proses penyusunan portofolio dapat di lihat pada Tabel 4.
Berdasarkan data tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa tanggapan siswa secara umum terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa yaitu positif. Tanggapan guru diperoleh dari hasil wawancara. Guru memberikan tanggapan yang positif terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio. Kesan guru setelah pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio yaitu sangat baik karena dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap penguasaan konsep sistem koordinasi. Tanggapan orang tua siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio juga positif karena mereka berpendapat bahwa pembelajaran tersebut meningkatkan minat dan hasil belajar siswa.

Tabel 4. Rekapitulasi tanggapan siswa terhadap pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa

No indikator Nomor
Pertanyaan Rata-rata
Skor Skor
Netral
1. Tanggapan siswa terhadap
mata pelajaran Fisika dan
konsep sistem koordinasi 1,2 dan 4 2,479 2
2. Tanggapan siswa terhadap
proses penyusunan portofolio 3,6,8,12 dan 13 1,796 1,25
3. Tanggapan siswa terhadap
manfaat pembelajaran dengan
memanfaatkan portofolio siswa 7,5,9,10,11 dan 14 1,973 1,667
Rata-rata Skor 2 083 1,639
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
• Pertama, pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio siswa dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep sistem koordinasi. Secara umum nilai rata-rata postes dan rata-rata gain menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol (rata-rata postes kelas eksperimen 77 dan kelas kontrol 69,23; rata-rata gain kelas eksperimen 0,68 dan kelas kontrol 0,58). Ketuntasan belajar dari kelas eksperimen 100% dan kelas kontrol 82%.
• Kedua, refleksi pengalaman belajar yang dilakukan setelah proses pembelajaran ternyata dapat menjadi umpan balik bagi siswa dalam memperbaiki karya mereka.
• Ketiga, kendala yang ditemui dalam pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio berasal dari siswa, guru dan orang tua siswa. Kendala yang berasal dari siswa yaitu siswa merasa tenggang waktu yang diberikan untuk menyusun portofolio masih kurang memadai. Siswa juga berpendapat mereka kesulitan untuk mencari sumber belajar terutama buku-buku penunjang yang relevan. Kendala yang berasal dari guru yaitu guru merasa tenggang waktu yang dibutuhkan untuk penugasan kepada siswa dirasa masih kurang memadai. Kendala yang berasal dari orang tua siswa yaitu bagi orang tua yang kurang mampu mereka merasa keberatan dengan biaya internet yang cukup mahal.
• Keempat, pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio mendapatkan tanggapan positif dari siswa, guru, dan orang tua siswa.

2. Saran
Rekomendasi yang disarankan dalam penelitian ini yaitu :
• Pertama, pembelajaran dengan memanfaatkan portofolio dapat dijadikan salah satu alternatif bagi guru dalam pembelajaran konsep sistem koordinasi dengan menyempurnakan keterbatasan keterbatasan dalam penelitian ini.
• Kedua, pihak sekolah hendaknya lebih meningkatkan kerjasama dengan orang tua siswa terutama dalam pengembangan sumber-sumber belajar di sekolah.


DAFTAR PUSTAKA
Budimansyah, D. (2002). Model pembelajaran dan Penilaian Portofolio. Bandung: Genesindo.
Cartono dan Sutarto, T. (2006). Penilaian Hasil Belajar Berbasis Standar. Bandung: Penerbit Prisma Press.
Dahar, R.W. (1989). Teori -teori Belajar. Jakarta: Erlangga. Depdiknas. (2004). Sistem Penilaian Kurikulum 2004.
Desforges, C. (1995). An Introduction to Teaching: Psychological Perspectives. New York : Balckwell.
Elango, S. (2005). Portfolio as a Learning Tool: Students' Perspective. Tersedia: http: www. annals. edu.sg/pdf/34/vol No 820509/V34N8 psi 1.pdf (18 Januari 2006).
Fraenkel, R.J, & Wallen, N.C. (1990). How To Design and Evaluate Research in Education. London: Mc Graw Hill, inc.
ibayati, Y. (2002). Analisis Strategi Mengajar pada Topik Sistem Saraf di SMU. Tesis di PPS UPi Bandung: tidak diterbitkan.
Kurniati, T. (2001). Pembelajaran Pendekatan Keterampilan Proses sains untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa: Model Pembelajaran Sistem Saraf untuk Siswa SMU Kelas 2. Tesis pada PPS UPi Bandung: tidak diterbitkan.
Rustaman, N., Dirjosoemanto, S., Adi Yudianto,S., Achmad,Y., Subekti, R., Rochintaniawati, D., Nurjhaini, M. (2003). Strategi Belajar Mengajar Fisika. Bandung: Jurusan Pendidikan Fisika FPMiPA UPi.
Ruseffendi, E.T. (2001). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. Bandung: iKiP Bandung Press.
Stiggins, R.J. (1994). Student-Centered Classroom Assesment. New York: Macmilan College Publishing Company.
Sudjana, N. (1987). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Sudjana, N. (2005). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sudjiono, A. (1996). Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Supranata, S. dan Hatta, M. (2004). Penilaian Portofolio Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Wijayanti, H. (2001). Hubungan antara Hasil Belajar dengan Kemampuan Berpikir kritis siswa SMU Negeri 3 Bandung pada Sistem Koordinasi. Skripsi Pendidikan Fisika FPMIPA UPi Bandung: tidak diterbitkan.
Winkel, W.S. (2007). Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abad